KabarBetawi, Jakarta – Bagi saya sebagai orang Betawi, Pilkada 2024 ini Pilkada paling tidak menarik pascareformasi. Bukan saja lantaran tidak ada perwakilan masyarakat Betawi di antara tiga paslon yang ada. Tapi juga karena proses demokrasi yang terkesan dipaksakan.
Cagub pertama disebut-sebut sebagai pejabat wanprestasi oleh warganya sendiri, saat menjadi Walikota Bandung dan Gubernur Jawa Barat. Sarat pencitraan, punya jejak digital mirip fufufafa, dan banyak meninggalkan proyek-proyek terbengkalai. Ada juga sejumlah trust isu dengan guru dan kasus penggusuran lewat cara-cara yang dianggap tak manusiawi. Tapi beliau dipaksanakan masuk Jakarta oleh kartel partai politik. Koalisi gemuk yang seolah sehat, padahal isinya manusia-manusia pesakitan dan tersandera surat sakti jaksa.
Cagub kedua berasal dari PDIP, partai yang secara tradisional tidak pernah berakar di hati masyarakat Betawi. Di era tiga partai zaman Orba, orang Betawi bahkan lebih rela mati memilih PPP ketimbang PDI (dulu belum ada embel-embel P-nya).
Pramono juga dikenal sebagai “orang dekat” mantan Presiden Jokowi, faktor yang disebut-sebut sebagai handicap di Jakarta. Jika Ridwan Kamil jelas-jelas di-endorse Jokowi, maka Pram bisa jadi kepanjangan tangan ide-ide Jokowi, meski baju partai beda. Jadi mungkin akan sama saja ending-nya.

Bagaimana dengan Cagub ketiga?
Dharma Pongrekun sebenarnya dapat menjadi calon alternatif. Namun nama mereka sama sekali tidak populer di kalangan masyarakat Betawi. Bukan hanya lantaran pernah tersandung kasus pencurian KTP saat mengumpulkan dukungan. Tapi sebagian besar orang Betawi dikenal sebagai pemilih konservatif yang referensinya mengacu kepada ulama, tokoh informal (termasuk yang di ormas), dan afiliasi dengan partai Islam, bahkan ada yang menambahkan dengan kedekatan Budaya. Jadi, rasanya sulit bagi Darma-Kun mengambil hati orang Betawi.
Dengan catatan-catatan di atas, saya enggak heran kalau di Pilkada 2024 ini banyak orang Betawi yang akhirnya golput dan gercos (gerakan coblos semua). Orang Betawi ingin kotanya bagus, punya Gubernur bagus, punya perhatian pada seni budaya dan pembangunan manusia seutuhnya.
Tapi mereka juga nyantai dan enjoy, enggak mau dipaksa-paksa, serta enggak gampang tergiring euforia bakal dapat apa ketika si A, si B, atau si C menang. Kecuali orang-orang atau ormas tertentu yang secara pribadi diuntungkan lewat proyek-proyek kereta cepat, IKN, dan infrastruktur lain.
Puluhan tahun tinggal di ibu kota membuat orang Betawi pandai mendengar, obyektif menilai, dan bijak memutuskan yang terbaik, menurut versi mereka sendiri. Kearifan lokal yang muncul akibat beratnya perjuangan untuk eksis di kampung sendiri. Orang Betawi jadi kaum yang tahu diri, paham mengukur diri, dan sangat demokratis.
Jadi, kalau Pilkada tak bisa diharapkan, mereka akan mencari obat mujarab yang lain. Obat yang dianggap terbaik bagi Jakarta tercinta. Karena mereka selalu tahu yang terbaik buat Jakarta. “Duit ama sengak lu udah kagak laku. Bawa pulang sono!”
Penulis: M Sulhi, anggota Dewan Penasihat Forum Jurnalis Betawi