KabarBetawi, Tokyo – Menjadi diaspora Indonesia di negara asing tidaklah mudah. Tinggal di luar negeri dan jauh dari Tanah Air tercinta, merupakan tantangan tidak sederhana bagi seorang diaspora Indonesia.
Dr. Eng. Ismail (55) adalah seorang diaspora Indonesia yang hampir 3 tahun bekerja di Tokyo, Jepang.
Menariknya, ‘tukang insinyur’ ini adalah anak Betawi asli. Pakar teknologi keselamatan reaktor nuklir lahir dan besar di kawasan Rawa Belong, Jakarta Barat.
Saat ini Ismail bekerja di Badan Tenaga Atom Internasional atau International Atomic Energy Agency (IAEA) – Kantor Regional Tokyo, sejak September 2022 silam.
Dari kantor IAEA di Tokyo, Dr. Eng. Ismail terpantik saat membaca pernyataan Presiden RI Prabowo Subianto saat melakukan kunjungan resmi ke beberapa negara sahabat (November 2024). Presiden ke-8 RI ini mengatakan kini Indonesia siap memasuki era energi nuklir dan berencana membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) untuk memenuhi kebutuhan pasokan listrik dari energi hijau (green energy).
Sebagai pakar teknologi keselamatan reaktor nuklir, dia berharap pemerintah Indonesia serius melakukan seluruh persiapan dan melibatkan seluruh potensi anak bangsa termasuk diaspora Indonesia di seluruh dunia turut berkontribusi bagi keberhasilan implementasi PLTN di Tanah Air.
“Sebagai diaspora, saya berharap suatu ketika mendapat kesempatan ikut berkontribusi dalam upaya mensejahterakan seluruh masyarakat Indonesia. Ini sesuai kompetensi yang saya miliki, termasuk dalam rencana pemerintah membangun PLTN di masa mendatang,” ujar Dr. Eng. Ismail kepada KabarBetawi.id, baru-baru ini.
Menurutnya, bukan pilihan mudah saat memilih menjadi diaspora di negara asing baik secara karir, kontribusi bagi bangsa, maupun keluarga (private). Perlu latar keilmuan yang mendukung dan skill yang tepat supaya menjadi diapora Indonesia yang berhasil.
“Menjadi diaspora dan punya karir profesional di luar negeri bergantung bidang keilmuan dan negara tujuan. Tingkat kontribusi setiap diaspora bergantung level pekerjaan dan signifikansi keluaran kinerja kita, apakah memiliki jarak yang dekat atau jauh dengan keseharian kehidupan masyarakat,“ jelasnya sambil menambahkan aspek adaptasi perilaku, budaya, dan pendidikan (bagi anak-anak) menjadi tantangan tidak sederhana bagi diaspora.

Ahlinye Sistem Keamanan Reaktor Nuklir
Di IAEA-Kantor Tokyo, Ismail bekerja sebagai Inspektur Safeguard fasilitas nuklir di Negara Matahari Terbit ini. Pasalnya, Jepang adalah satu dari sedikit negara di dunia yang punya fasilitas nuklir lengkap dengan penguasaan teknologi nuklir tergolong maju.
Alhasil, dia mesti menginspeksi dan mengawasi semua jenis fasilitas nuklir di Jepang saat ini. Seperti Fasilitas Konversi, Fasilitas Pengayaan Uranium, Fabrikasi Bahan bakar Reaktor, Reaktor Nuklir (PLTN), Fasilitas Penyimpanan Bahan bakar Bekas (dari Reaktor), dan Fasilitas Daur Ulang Bahan Bakar Nuklir.
Sebelum pindah ke IAEA-Kantor Regional Tokyo, Ismail telah bekerja di kantor pusat IAEA di Wina, Austria, selama 8,5 tahun sejak 2015.
Sebagai Inspektur Safeguard Nuklir di markas besar Badan Tenaga Atom Dunia, tupoksi Ismail sangat strategis bagi keamanan dan perdamaian dunia.
Bagaimana tidak, dia menginspeksi berbagai fasilitas nuklir dalam pemanfaatan bahan nuklir; uranium dan plutonium, di banyak negara dunia. Tujuannya adalah memastikan bahan nuklir tersebut hanya dimanfaatkan untuk tujuan damai seperti kesejahteraan masyarakat dan tidak disalahgunakan ke arah pembuatan senjata nuklir (nuclear weapons).
Tak heran, nama Ismail dikenal sebagai pakar bidang teknologi reaktor dan keselamatan nuklir di luar negeri, dengan pengalaman dan dedikasi lebih 25 tahun.
Pendidikan dan Pengalaman Kerja
Ismail meraih gelar S3 Doctor of Engineering (Dr. Eng) dari Tokyo Institute of Technology pada September 2007. Disertasinya berjudul Symbiotic System of Large Fast Breeder Reactors and Small Thorium Fueled Satellite Reactors, dengan fokus pada analisis keselamatan teras reaktor nuklir.
Sementara gelar S2-nya, Master of Engineering (M. Eng), juga diraihnya dari kampus yang sama, pada September 2003, Judul tesisnya tentu saja tentang nuklir: Temperature Effects on CANDLE Burnup of High-Temperature Gas Cooled Reactors, yang fokus pada analisis numerik keselamatan reaktor dan manajemen bahan bakar teras reaktor.
Gelar S2 dan S3 ini diraihnya, setelah mendapat beasiswa dari Monbusho (MEXT) saat bekerja di Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN).
Ya, sarjana ilmu fisika jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mengawali karirnya sebagai analis keselamatan nuklir di Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) pada 1999. Ini lembaga pemerintah yang dibentuk pada 1998, dengan peran badan pengawas keteneganukliran yang independen dari Lembaga pelaksana litbang dan promosi ketenaganukliran: Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN).
Pemisahan badan pengawas ini sesuai ketentuan internasional terkait rencana pemerintah indonesia untuk membangun PLTN di masa mendatang.
Di BAPETEN, Ismail bekerja untuk menganalisis keselamatan reaktor nuklir melalui studi analisis numerik komputasi. Artikel ilmiahnya telah dipublikasikan di beberapa jurnal baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Dari BAPETEN, Ismail melanjutkan karirnya ke Badan Tenaga Atom Dunia di Wina, Austria. Dia rela harus terbang jauh ke benua Eropa, meninggalkan Tanah Air tercinta, dan menjadi diaspora.
Namun, sebagai anak Betawi asli, Ismail punya prinsip hidup sebagai pedomannya, yang mampu membuatnya bertahan tinggal di negara asing dan jauh dari negara sendiri.
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling besar manfaatnya untuk manusia lain di sekitarnya,” kata Ismail menutup perbincangannya.