Kabarbetawi.id Jakarta – Bulan Ramadan biasanya identik dengan penjual takjil yang mudah kita jumpai di pinggir jalan, berbagai aneka hidangan takjil khas Ramadan banyak dijajakan oleh para pedagang takjil musiman, salah satunya kue putu mayang.
Kudapan yang satu ini merupakan salah satu kuliner tradisional khas Betawi, yang mempunyai bentuk seperti mie bergulung-gulung. Kue ini berbahan dasar dari tepung beras, putu mayang biasanya disajikan dengan siraman gula merah cair dicampur santan.
Warna asli dari kuliner ini adalah putih, akan tetapi biar terlihat semakin menarik, kini kue putu mayang sudah banyak memiliki corak warnanya.
Jika ditanya mengenai sejarah putu mayang, belum ada catatan pasti mengenai kapan kue ini muncul. Namun menurut budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra, yang meyakini bahwa kue ini punya keterkaitan erat dengan cerita-cerita rakyat Betawi. Salah satunya cerita rakyat Jampang Mayangsari.
“Terkait dari sisi penamaannya, Mayang itu sesuatu yang bergelombang indah. Bentuk putu mayang yang bergelombang menyerupai mie inilah yang kemudian dikaitkan dengan sosok perempuan yang bernama Mayangsari tersebut,” jelas Yahya.
“Kue putu mayang telah berada dan identik dengan kebudayaan Betawi sejak lama sekali. Nenek saya waktu itu masih hidup, setiap kita mau buka puasa dia selalu usahakan bawa kue putu mayang. Kue ini memang sangat terkenal di Betawi. Tapi putu mayang yang ori ya, warnanya putih doang, kayak warna beras aja,” pungkas Yahya.
Hal lain menurut para orang tua dahulu khususnya warga Betawi, nilai yang terkandung dalam makanan tradisional putu mayang adalah nilai budaya penyambung silaturahmi yang sudah dilakukan secara turun-temurun.
Biasanya putu mayang ini oleh masyarakat Betawi di jadikan hantaran kepada sanak keluarga atau para tetangganya, rasanya yang manis menyimbolkan sebuah hubungan yang manis, warnanya yang warna warni menyimbolkan keceriaan, namun itu hanyalah sebuah perumpamaan saja, dan yang pasti semuanya untuk santapan berbuka puasa.(hel)