Batik Betawi Bertahan Di Kota Megapolitan

Kabarbetawi.id, Jakarta – Batik Indonesia setiap hari selalu berkembang. Setiap daerah terus berinovasi memperkenalkan motif-motif terbaru yang langsung bisa diproduksi dan dipasarkan kepada masyarakat. Sentra batik adiluhung yang sudah berabad -abad seperti Batik Cirebon, Batik Jogja, Batik Pekalongan yang terus mendominasi. Diproduksi dalam jumlah yang besar, harga terjangkau dan motif-motifnya mengikuti perkembangan jaman. Belum daerah-daerah lainnya.

Batik Betawi merupakan warisan budaya penting bagi masyarakat Betawi dan Jakarta serta menjadi identitas khas daerah.
Motif batik Betawi umumnya mengacu pada dua motif utama, yaitu motif flora, garis dan lengkung, tumpal,yang diperkaya dengan berbagai variasi. Ciri khas batik Betawi — umumnya lebih kepada Batik Pesisiran — adalah penggunaan warna-warna cerah dan mencolok seperti merah, kuning, hijau dan lainnya.

Batik Betawi di Abad 19

Seperti diketahui batik Betawi berkembang di Batavia di abad 19 bersamaan dengan masuknya batik pesisiran yang memang sangat disukai motif-motifnya oleh para perempuan di Batavia dulu. Ada juga batik Indo, batik Tionghoa, Arab, Tionghoa peranakan.

Menurut Yahya Andi Saputra, Budayawan Betawi sekaligus pemerhati Batik, khususnya batik Betawi dan juga salah satu orang yang ikut membidani atau merevitalisasi Batik Betawi, salah satunya adalah Batik Betawi Gandaria, yang saat ini sudah mulai meramaikan pasar perbatikan dan hadir mewarnai keberagaman batik di Indonesia.

“Batik Betawi sudah ada di era abad ke 19 di berbagai kampung di Batavia yang sekarang menjadi bagian dari Jakarta. Dimana pengaruh motif batik-batiknya dipengaruhi dari batik Sunda, Jawa, Tionghoa, Arab, Cina peranakan yang memang sangat disukai pada saat itu,” Jelas Bang Yahya.

Motif-motif batik Betawi yang lama seperti Bambu Kuning, Seser Ciluwung, Galur, Tiris Gerimis, Kemuning Biru, Jawa Hokokai (jaman jepang), Tiga Negeri (jaman belanda), Pagi Sore (jaman belanda), Putri Tidur (jaman belanda) dan Burung Hong (peranakan). Kecuali Burung Hong, lainnya hanya tinggal nama, tanpa ada tertinggal jejaknya.

Geliat Batik Betawi Tahun 2000-an

Karena itulah, Bang Yahya di awal tahun 2000 berinisiatif melakukan riset sisa aktivitas perbatikan Betawi, baik melalui buku dan wawancara kepada narasumber di berbagai kampung. Bang Yahya mencari orang yang sudah memahami proses membatik dan bertemu dengan Ibu Sumiyati, yang biasa disapa Ibu Umi, merupakan aktivis perbatikan dan memiliki perusahan batik di Semarang. Perusahaannya dilabeli dengan merek Batik Semarang Enambelas. Dan sangat kebetulan sekali, Ibu Umi membina keponakannya, Ernawati, yang mengembangkan Batik Betawi dengan merek Seraci.

Melalui Ibu Umi dan Ernawati, Bang Yahya berkolaborasi secara intensif untuk menghidupkan kembali Batik Betawi. Setelah diskusi dan curah pendapat dengan berbagai instansi, Bang Yahya dibantu Ibu Umi dan Ernawati mengumpulkan peminat perbatikan dari kalangan muda dengan tujuan untuk disertakan dalam pelatihan batik.

Akhirnya banyak anak muda dari 12 kampung tertarik mengikuti pelatihan. Salah satu kampung adalah Kampung Gandaria, yang memperkenalkan Batik Betawi Gandaria. Upaya itu tidak sia-sia, dikarenakan ternyata Batik Betawi dikenal dan diminati kembali oleh masyarakat Jakarta.

Bagaimana? Apakah dengan motif-motif yang pernah ada dulu?
Bang Yahya mengawali dengan menggoreskan motif dengan ikon-ikon Betawi seperti ondel-ondel, tanjidor, penari, sungai ciliwung, topeng, monas, bunga, permainan anak-anak, alat musik tradisional, kuliner tradisional, di kain menjadikannya batik Betawi yang sekarang kita lihat dan dipakai menjadi lebih kekinian. Desain menyesuaikan dengan perkembangan jaman yang terus bergerak.

“Untuk memulai kita menyesuaikan dengan keadaan sekarang. Agak sulit memulai dengan desain betawi tempo dulu. Jadi kita ceplak ceplok dari gambar-gambar seperti ondel-ondel, bunga, penari, monas di jadikan motif di batik Betawi sekarang, sekaligus menumbuhkan minat ke pada gen z. Tentu kita juga ingin menyasar generasi alpa.” kata bang Yahya sambil tertawa kecil

Lebih lanjut bang Yahya mengatakan, Secara perlahan-lahan, menumbuhkan rasa kesabaran dan kesadaran yang pada akhirnya akan melahirkan cinta dan kesetiaan dengan apa yang dikerjakan.

Membatik bukan hal yang mudah. Memegang canting menggoreskan malau atau cairan lilin panas ke kain membutuhkan waktu kesabaran dan kesadaran agar hasilnya maksimal. Ketika itu semua sudah dimulai, persoalan produksi. Kurangnya dukungan dan hanya sekedar janji manis untuk membantu dan menjembatani dengan pemangku kekuasaan.

Bang Yahya, agak menyayangkan. Saat batik Betawi kembali tampil dan diterima pecinta batik, persoalan muncul dimana produksi batik tidak bisa memenuhi permintaan yang tinggi,
keterbatasan bahan baku, permodalan dan SDM serta persoalan pembuangan limbah pewarna batik di tanah akan menjadi persoalan lingkungan.
Dari pemangku yang berwenang hanya mampu memberi janji, tanpa tahu kapan merealisasikannya.

“Sudah dibicarakan dan akan dibantu tapi belum terlaksana. Karena itulah sekarang masih jalan perlahan-lahan dalam memenuhi permintaan, ” ujar bang Yahya.

Batik Betawi Gandaria

Di Gandaria, tepatnya di Kampung Gandaria Selatan komunitas batik Betawi yang masuk dalam pembinaan bang Yahya adalah Batik Betawi Gandaria yang berlokasi di Jalan Bahari Raya, Gandaria Selatan, Cilandak, Jakarta Selatan, menjadi pilihan masyarakat.

Motif-motif nya yang kekinian disukai para gen z. Mereka sudah tidak malu lagi memakai batik. Salah satu yang best seller ikon ondel-ondel. Dengan pilihan batik cap dan tulis, Batik Betawi Gandaria kini sudah menjadi pilihan.

Pemilihan kain yang bagus, motif kekinian, warna-warna cerah yang menjadi khas batik Betawi seperti merah, kuning, hijau, biru, ungu dan orange.

Di tempat ini pula proses produksi batik betawi berjalan, dan para pembatik binaan berkarya.
Pembuangan limbah dari proses pewarna batik yang menjadi problema sudah dilakukan mengikuti prosedur yang berlaku agar tidak merusak lingkungan sekitar dan masalah di kemudian hari. Apalagi Batik Betawi Gandaria berada ditengah pemukiman warga.

“Di Gandaria, proses pembuatan batik berjalan sesuai prosedur. Intinya tidak menganggu lingkungan warga sekitar dengan adanya workshop disini,” kata Bang Yahya, saat tim dari Forum Jurnalis Betawi (FJB) menyambangi lokasi tersebut.

Sebagai putra Betawi, bang Yahya mempunyai harapan ke depan untuk keberadaan batik Betawi dengan adanya keterlibatan langsung pemerintah daerah untuk membantu dan mempermudah permodalan, serta gerai sebagai sarana menyalurkan produk-produk batik Betawi tersebut.

“Semakin maju dan terus berkembang, khususnya SDM, harusnya ada keterlibatan pemerintah yang nyata dalam permodalan dan gerai. Sehingga makin diminati pasar lokal dan international yang bisa menjadikan batik Betawi sebagai identitas warga Jakarta,” tutup Bang Yahya.