Kabarbetawi.id, Jakarta — Maestro lukis Betawi, Dr. Sarnadi Adam, berbagi kisah inspiratif tentang perjalanan hidup dan keseniannya dalam acara Focus Group Discussion (FGD) Diaspora Anak Betawi yang digelar oleh DPP Permata MHT di Hotel Mega Anggrek, Kemanggisan, Palmerah, Jakarta Barat, pada Jumat (24/10/2025).
Lahir dan besar di Jakarta, Sarnadi Adam sudah mengakrabi dunia seni rupa sejak usia muda. Ia menempuh pendidikan di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) dan kemudian melanjutkan ke Sekolah Tinggi Seni Rupa Republik Indonesia Yogyakarta. Setelah lulus pada tahun 1986, ia langsung mengabdikan diri sebagai pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Jurusan Seni Rupa.

Namun perjalanan hidupnya tak berhenti di ruang kelas. Sejak masa sekolah hingga meraih gelar doktor, Sarnadi menghabiskan lebih dari satu dekade di Yogyakarta, sebuah pengalaman yang membuatnya merasa seperti diaspora lokal.
“Saya ini bisa dibilang diaspora lokal. Dari SMP di Jakarta, SMA sampai kuliah S1, S2, dan S3 di Jogja. Hampir 12 tahun saya di sana, tapi tetap pulang-pergi karena akar budaya saya kuat,” ujarnya.
Justru di perantauan itulah, identitas Betawi semakin mengakar dalam karya-karyanya. Ketika mahasiswa lain lebih banyak mengangkat tema umum, Sarnadi memilih jalan berbeda — melukis kehidupan dan budaya Betawi. Lukisan-lukisannya menggambarkan realitas masyarakat Betawi: pedagang di pasar, kesenian tradisional, hingga suasana kampung yang hangat.
“Saya menonjol waktu itu karena tidak ada teman lain yang mengangkat tema Betawi,” kenangnya.
Dari kanvas lokal, Sarnadi kemudian menembus panggung global. Sejak 1992, ia aktif berpameran di berbagai negara, antara lain Belanda, Jerman, Perancis, Finlandia, Swedia, hingga Amerika Serikat. Pamerannya di Eropa dan Amerika bahkan mempertemukannya dengan para diaspora Betawi di berbagai negara.

“Ketika saya pameran, saya sering bersentuhan dengan diaspora Betawi. Tema lukisan saya tentang Betawi membuat mereka teringat kampung halaman,” katanya.
, Namun, Sarnadi juga melihat sisi lain diaspora, banyak generasi muda Betawi di luar negeri yang sudah mulai kehilangan keterikatan dengan akar budayanya.
“Ada yang masih tahu ondel-ondel, kerak telor, selendang mayang. Tapi ada juga yang sama sekali tidak tahu. Ini problem. Makanya perlu sosialisasi seni budaya Betawi yang terus-menerus,” tegasnya.
Ia berharap, organisasi seperti Permata MHT bersama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat berperan aktif dalam memperkuat jejaring diaspora Betawi, termasuk melalui kerja sama kota kembar seperti Jakarta–Amsterdam dan Jakarta–Tokyo, dengan melibatkan langsung para pelaku seni Betawi.
Sebagai pelukis Betawi yang karyanya telah mendunia, Sarnadi mengaku bangga. Karya-karyanya yang bertema Betawi tidak hanya diapresiasi di dalam negeri, tetapi juga oleh para kurator internasional.
“Saya bangga karena seni lukis Betawi diakui secara keilmuan oleh para kurator dunia. Ini menjadi kebahagiaan sekaligus identitas diri saya,” ungkapnya dengan mata berbinar.
Melalui kisahnya, Sarnadi Adam menunjukkan bahwa menjadi diaspora bukan berarti kehilangan jati diri, tetapi justru bisa menjadi jalan untuk memperkenalkan Betawi ke dunia lewat warna, garis, dan jiwa yang ia tuangkan di atas kanvas.(hel)












